Perilaku
Asertif pada Anak, Remaja dan Dewasa
Diajukan untuk Memenuhi
Tugas Makalah
Mata Kuliah Personality Development
Dosen Pengampu : Ibu Eris
Dianawati
Disusun Oleh :
INDRA NURHAMSAH :
Manajemen (10101168)
AVIA EKA
HAVSARI : Manajemen (09101077)
SEKOLAH TINGGI ILMU
EKONOMI ASIA MALANG
Jl. Borobudur No. 21 Telp.
(0341) 478 494
Oktober 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perilaku asertif sangat penting bagi setiap
individu, karena apabila seorang individu tidak memiliki keterampilan untuk
berperilaku asertif atau bahkan tidak dapat berperilaku asertif, disadari
ataupun tidak, individu ini akan
kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu dan cenderung tidak dapat menjadi
individu yang bebas dan akan selalu berada dibawah kekuasaan orang lain. Alasan
seorang individu tidak dapat berperilaku asertif adalah karena mereka belum
menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif. Misalnya, pada masa ini terdapat keraguan akan identitas
diri sebagai seorang remaja awal karena pada masa ini individu telah merasa
dewasa namun masih ada orang-orang disekelilingnya yang menyebutnya “anak
remaja”. Perilaku asertif dibutuhkan oleh remaja awal , terlebih apabila
seorang remaja awa berada dalam lingkungan yang kurang baik seperti lingkungan
perokok atau pecandu narkoba, pada satu sisi sorang remaja tidak ingin
kehilangan teman dan pada sisi lainnya seorang remaja tidak ingin terjerumus
pada hal-hal negatif.
Tidak
semua individu dapat berperilaku asertif. Hal ini disebabkan karena tidak semua
individu laki-laki maupun perempuan, anak – anak , remaja maupun dewasa sadar
bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif. Banyak pula anak – anak ,
remaja dan dewasa yang cemas atau takut untuk berperilaku asertif, atau bahkan
banyak individu yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara asertif.
Hal ini mungkin mendapatkan pengaruh dari latar belakang budaya keluarga dimana
mereka semua itu tinggal, urutan anak tersebut dalam keluarga, pola asuh orang
tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi orang tua atau bahkan sistem
kekuasaan orang tua. Perilaku asertif berbeda dengan perilaku agresif, karena
dalam berperilaku asertif, kita dituntut untuk tetap menghargai orang lain dan
tanpa melakukan kekerasan secara fisik maupun verbal. Sedangkan perilaku
agresif cenderung untuk menyakiti orang lain apabila kehendaknya tidak
dituruti.
Setiap individu anak – anak , remaja,
maupun dewasa yang belum dapat mengkomunikasikan perasaan yang
dirasa kepada orang lain secara jujur, mereka menganggap mereka tidak memiliki
hak untuk melakukan hal tersebut. Jika
hal ini tidak dapat diatasi maka dimasa yang akan
datang remaja mereka akan merasa rendah diri dan
tidak berani mengemukakan perasaanya kepada orang lain karena merasa apa yang
disampaikannya selalu tidak dipedulikan orang lain.
BAB 2
LANDASAN
TEORI
A. Definisi
Perilaku Asertif
Cawood
(1988) menyebutkan bahwa perilaku asertif adalah ekspresi yang langsung, jujur
dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-hak individu
tanpa kecemasan yang tidak beralasan. Alberti & Emmons (2002) memberikan
pengertian bahwa perilaku yang asertif mempromosikan kesetaraan dalam hubungan
manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut kepentingan kita
sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya,
untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, untuk menerapkan hak-hak
pribadi kita tanpa menyangkali hak-hak orang lain.
Lange
dan Jakubowski (1978) memberikan pengertian tentang perilaku asertif sebagai
berikut: “Standing up for personal rights and expressing toughts, feelings,
and beliefs in direct, honest, and appropriate ways which do not violate
another person’s rights” Dalam pengertian yang mereka kemukakan, mereka
menyatakan bahwa perilaku asertif adalah mempertahankan hak-hak kita dan
mengekspresikan apa yang kita yakini, rasakan serta inginkan secara langsung
dan jujur dengan cara yang sesuai yang menunjukkan penghargaan terhadap hak-hak
orang lain.
Pengertian
lainnya dikemukakan oleh Rini (2001), yaitu bahwa asertif adalah suatu
kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan
kepada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan
orang lain. Sedangkan Rathus dan Nevid (1983) menyatakan bahwa asertif adalah
tingkah laku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur dan terbuka
menyatakan kebutuhan, perasaan dan pikiran-pikiran apa adanya, mempertahankan
hak-hak pribadi serta menolak permintaan-permintaan yang tidak masuk akal dari
figur otoritas dan standar-standar yang berlaku pada suatu kelompok.
Selanjutnya,
Beddel & Lennox (1997) memberikan pengertian mengenai perilaku asertif,
yaitu: “Assertiveness promotes interpersonal behavior that simultaneously
attempts to maximize the person’s satisfaction of wants while considering the
wants of other people, thus promoting respect for the self and others”. Mereka
mengatakan bahwa, asertifitas akan mendukung tingkah laku interpersonal yang
secara simultan akan berusaha untuk memenuhi keinginan individu semaksimal
mungkin dengan secara bersamaan juga mempertimbangkan keinginan orang lain
karena hal itu tidak hanya memberikan penghargaan pada diri sendiri tetapi juga
kepada orang lain.
B. Ciri-Ciri Individu dengan Perilaku Asertif
Lange
dan Jakubowski (1978) mengemukakan lima ciri-ciri individu dengan perilaku
asertif. Ciri-ciri yang dimaksud adalah:
a. Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri
Menghormati
orang lain berarti menghormati hak-hak yang mereka miliki, tetapi tidak berarti
menyerah atau selalu menyetujui apa yang diinginkan orang lain. Artinya,
individu tidak harus menurut dan takut mengungkapkan pendapatnya kepada
seseorang karena orang tersebut lebih tua dari dirinya atau memiliki kedudukan
yang lebih tinggi.
b. Berani mengemukakan pendapat secara langsung
Perilaku
asertif memungkinkan individu mengkomunikasikan perasaan, pikiran, dan
kebutuhan lainnya secara langsung dan jujur.
c. Kejujuran
Bertindak
jujur berarti mengekspresikan diri secara tepat agar dapat mengkomunikasikan
perasaan, pendapat atau pilihan tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.
d. Memperhatikan situasi dan kondisi
Semua
jenis komunikasi melibatkan setidaknya dua orang dan terjadi dalam konteks
tertentu. Dalam bertindak asertif, seseorang harus dapat memperhatikan lokasi,
waktu, frekuensi, intensitas komunikasi dan kualitas hubungan.
e. Bahasa tubuh
Dalam
bertindak asertif yang terpenting bukanlah apa yang dikatakan tetapi bagaimana
menyatakannya. Bahasa tubuh yang menghambat komunikasi, misalnya: jarang
tersenyum, terlihat kaku, mengerutkan muka, berbicara kaku,
bibir
terkatup rapat, mendominasi pembicaraan, tidak berani melakukan kontak mata dan
nada bicara tidak tepat.
C. Hal – hal yang Mempengaruhi Perilaku
Asertif
Menurut
Rathus dan Nevid (1983), terdapat enam hal yang mempengaruhi perkembangan
perilaku asertif, yaitu:
1. Jenis kelamin. Jenis kelamin mempengaruhi perkembangan
perilaku asertif. Wanita pada umumnya lebih sulit bersikap asertif seperti
mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan dengan laki-laki. Subjek 1
adalah seorang perempuan, subjek 2 adalah perempuan, dan subjek 3 adalah
laki-laki, menurut ketiga subjek, mereka merasa jenis kelamin mempengaruhi
perilaku mereka. Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang
dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kesalahan dalam
menganggap perilaku non asertif sebagai suatu bentuk kesopanan, dimana ketiga
subjek menganggap jenis kelamin mempengaruhi perilaku mereka, dan sebagai
seorang anak perempuan subjek 1 dan 2, sering menganggap lebih baik diam
sebagai bentuk kesopanan.
2. Self esteem. Disebut juga dengan harga diri.
Individu yang berhasil untuk berperilaku asertif adalah individu yang harus
memiliki keyakinan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki
kekuatiran sosial yang rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan
perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri. Pada kasus subjek 1, 2
dan 3, terdapat kesamaan, yaitu bahwa ketiga subjek merasa memiliki harga diri
yang tinggi dan dengan harga diri yang tinggi tersebut, ketiga subjek mampu
menunjukkan perilaku asertifnya kepada orang lain. Dilihat dari alasan individu
berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida,
2006) tentang kegagalan menerima hak pribadi, maka ketiga subjek tidak
merasakan kegagalan dalam menerima hak pribadi, melainkan ketiga subjek merasa
memiliki harga diri yang tinggi dan mampu berperilaku asertif kepada orang
lain.
3. Kebudayaan. Kebudayaan juga mempengaruhi perilaku yana
muncul. Kebudayaan biasanya dibuat sebagai pedoman batas-batas perilaku setiap
individu. Subjek 1 yang memiliki ayah dari suku Jawa dengan ibu dari suku
Sunda. Subjek 2 yang memiliki ayah dari Suku Sumatra (Padang) dengan ibu dari
suku Jakarta, dan subjek 3 memiliki kedua orang tua dari suku yang sama, suku
Sunda. Pada kasus subjek 1 dan 3, terlihat bahwa subjek merasa bahwa kebudayaan
mempengaruhi perilakunya. Pada kasus subjek 2 dapat dilihat subjek merasa
kebudayaan tidak mempengaruhi perilakunya. Dilihat dari alasan individu
berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam
Zulkaida, 2006) tentang kecemasan akan adanya akibat yang bersifat negatif,
dimana dari hasil diatas, dapat dilihat bahwa subjek 1 dan 3 merasa akan
mendapatkan akibat negatif apabila mereka mengabaikan sisi kebudayaan mereka.
4. Tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, semakin luas wawasan berpikir sehingga memiliki kemampuan untuk
mengembangkan diri dengan lebih terbuka. Pada kasus subjek 1 dan 2 terdapat
kesamaan. Menurut mereka tingkat pendidikan mempengaruhi perilakunya. subjek 3
mengatakan bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi perilakunya. Dilihat
dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan Lange &
Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang tidak adanya keterampilan untuk
berperilaku asertif, dimana subjek 1 dan 2 merasa tingkat pendidikan saat ini
membuat mereka merasa tidak memiliki keterampilan untuk berperilaku asertif.
5. Tipe kepribadian. Hal ini dipengaruhi oleh tipe
kepribadian, dimana seseorang akan bertingkah laku berbeda dengan individu
kepribadian lain. Pada kasus subjek 1 dan 3 terdapat kesamaan, yaitu memiliki
kepribadian yang terbuka. Pada kasus subjek 2, terlihat bahwa subjek lebih
pendiam dan tertutup Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang
dikemukakan Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kesalahan
dalam membedakan antara perilaku asertif dan agresif, dimana subjek 1 dan 3
dengan tipe kepribadian yang terbuka berusaha untuk tidak mengkomunikasikan
keinginannya dengan suara yang keras atau yang sifatnya memaksa agar tidak
terjadi kesalahan dalam membedakan perilaku asertif dan agresif.
6. Situasi tertentu lingkungan sekitarnya. Dalam berperilaku,
seseorang akan melihat kondisi dan situasi dalam arti luas. Pada kasus subjek 1
dan 3, terlihat bahwa subjek dapat menolak perintah orang tua sedangkan kasus
subjek 2 terlihat bahwa subjek merasa tidak dapat menolak permintaan orang
lain. Dilihat dari alasan individu berperilaku non asertif, yang dikemukakan
Lange & Jakubowski (dalam Zulkaida, 2006) tentang kesalahan menganggap
perilaku asertif adalah sebagai usaha untuk membantu orang lain, dimana subjek
2 tidak dapat menolak permintaan orang lain dan menganggap perilakunya tersebut
sebagai usaha untuk membantu orang lain.
BAB 3
PEMBAHASAN
Perilaku
Asertif pada Anak, Remaja dan Dewasa
Lange
dan Jakubowski (1978) memberikan pengertian tentang perilaku asertif sebagai
berikut: “Standing up for personal rights and expressing toughts, feelings,
and beliefs in direct, honest, and appropriate ways which do not violate
another person’s rights” Dalam pengertian yang mereka kemukakan, mereka
menyatakan bahwa perilaku asertif adalah mempertahankan hak-hak kita dan
mengekspresikan apa yang kita yakini, rasakan serta inginkan secara langsung
dan jujur dengan cara yang sesuai yang menunjukkan penghargaan terhadap hak-hak
orang lain.
Seperti
dalam teori perikalu asertif yang dikemukakan oleh Lange dan Jakubowski (1978) di
atas secara umum dapat diambil kesimpulan perilaku asertif bisa terjadi pada
setiap individu baik anak – anak, remaja maupun dewasa. Hanya saja ada
perbedaan bentuk – bentuk perilaku asertif mereka karena beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi seperti jenis kelamin, sefl
esteem, kebudayaan, tingkat pendidikan hingga tipe kepribadian mereka (
menurut Rathus dan Nevid -1983).
Menurut
Lange & Jakubowski (1978), terdapat beberapa ciri-ciri individu dengan
perilaku asertif, ciri – ciri ini bisa terdapat pada anak, remaja maupun
dewasa. Ciri-ciri yang dimaksud adalah :
1. Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri. Hal yang
dimaksud adalah bahwa setiap individu memiliki hak yang sama dengan individu
lainnya tanpa melihat perbedaan usia, jabatan atau golongan. Contohnya pada
anak (0 – 12 thn) , biasanya ketika mereka bermain bersama dan mereka memilki “mainan”
masing – masing, anak yang asertif akan merebut kembali “mainannya” yang
diambil oleh teman bermainnya karena dia menganggap “mainan” tersebut adalah
haknya. Contoh pada remaja (12 – 20 thn), di dalam pergaulan remaja bisanya ada
panggilan – panggilan nama khusus kepada salah satu rekannya, panggilan nama
yang tidak sesuai dengan nama aslinya yang menyebabkan rasa rendah diri
misalkan “ si gendut, si tompel, si boncel dll”. Seorang remaja yang asertif
akan menolak panggilan nama tersebut karena dia merasa berhak mendapat
panggilan nama sesuai dengan nama pemberian orang tuannya. Dan dia juga akan
menghormati rekan – rekannya dengan memanggil nama asli mereka. Sedangkan contohnya
pada orang dewasa ( > 20 thn / sudah bekerja), seorang dewasa yang asertif
akan menemui atasannya jika ia meresa diperlakukan tidak adil dalam pemberian
upah kerja.
2. Berani mengemukakan pendapat secara langsung. Hal yang
dimaksud adalah bahwa setiap individu dengan perilaku asertif akan mampu
mengungkapkan segala perasaan yang dirasakannya atau sesuatu yang dipikirkannya.
Contohnya pada anak (0 – 12 thn), seorang anak yang asertif akan berani
bercerita mengenai objek yang dia pegang, dia pelajari, atau dia buat “ mainan”
ketika ditanya oleh ibunya, kakak, atau orang lain. Contoh pada remaja ( 12 -20
thn ), perilaku asertif ini bisa tampak jika remaja tersebut berani bertanya
atau menyanggah di dalam forum diskusi kelas. Contoh pada dewasa ( > 20 thn
/ sudah bekerja), di dalam forum rapat dia akan menyampaikan pendapatnya jika
ia merasa kebijakan yang ditentukan bisa merugikan perusahaan itu sendiri.
3. Kejujuran. Dalam
hal ini, kejujuran yang ditunjukkan dalam mengekspresikan diri agar dapat
mengkomunikasikan perasaan, pendapat ataupun pilihan yang tidak merugikan diri
sendiri dan orang lain. Contoh pada anak ( 0 – 12 thn), seorang anak yang
asertif yang jujur dalam mengekspresikan wajah murungnya ketika ia merasa
kurang diperhatikan oleh orang tuanya. Contoh pada remaja (12 – 20 thn),
seorang remaja yang berani berpenampilan sesuai dengan yang dia kehendaki,
tidak ikut – ikutan merupakan remaja yang menunjukan perilaku asertifnya.
Contoh pada dewasa (>20 thn/sudah bekerja), ketua tim akan menunjukkan sikap
senang (memberi apresiasi) kepada anggota kerja yang berprestasi.
4. Memperhatikan situasi dan kondisi. Hal yang dimaksud
adalah, bahwa setiap individu yang berperilaku asertif akan mampu memperhatikan
situasi, lokasi, frekuensi serta intensitas komunikasi. Contoh pada anak (0 –
12 thn), seorang anak perempuan yang ikut – ikutan berperan sebagai ibu yang
memasak ketika memperhatikan ibunya yang sedang memasak di dapur. Contoh pada
remaja (12 – 20 thn) yang memulai komunikasi kepada teman sejawatnya yang
sedang sedih dengan cara yang menghiburnya. Contoh pada dewasa ( > 20 thn/
sudah bekerja), seorang rekan kerja yang memberikan saran maupun pendapat dalam
forum rapat di kantor untuk memperbaiki kinerja perusahaan yang mulai menurun.
5. Bahasa tubuh.
Selain dari beberapa ciri perilaku asertif yang telah dijelaskan sebelumnya, ciri
perilaku asertif lainnya dapat
ditunjukkan dengan bahasa tubuh. Dalam bertindak asertif yang terpenting
bukanlah apa yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya. Bahasa tubuh yang
menghambat komunikasi, misalnya: jarang tersenyum, terlihat kaku, mengerutkan
muka, berbicara kaku,
bibir
terkatup rapat, mendominasi pembicaraan, tidak berani melakukan kontak mata dan
nada bicara tidak tepat merupakan wujud dari perilaku nonasertif. Contoh pada
anak (0 – 12 thn), anak yang asertif akan berani melihat wajah orang yang
mengajak berbicara dengannya. Contoh pada remaja (12 – 20 thn), didalam forum
diskusi kelas selain berbicara dia juga menggerakkan anggota tubuh untuk meyakinkan
orang tentang apa yang dia sampaikan.
Contoh pada dewasa (> 20 thn/ sudah bekerja), seorang karyawan yang memulai
untuk memberikan senyuman kepada karyawan lainnya saat bertemu di lingkungan
kerja.
BAB
4
KESIMPULAN
Perilaku
asertif adalah mempertahankan hak-hak kita dan mengekspresikan apa yang kita
yakini, rasakan serta inginkan secara langsung dan jujur dengan cara yang
sesuai yang menunjukkan penghargaan terhadap hak-hak orang lain. Perilaku
asertif bisa terjadi pada setiap individu baik anak – anak (0 – 12 thn), remaja
(12 – 20 thn) maupun dewasa (> 20 thn/ sudah bekerja) dengan ciri – ciri tertentu.
Ada enam (6) hal yang dapat mempengaruhi
perkembangan perilaku asertif seperti jenis kelamin, sefl esteem, kebudayaan, tingkat pendidikan hingga tipe kepribadian
mereka (Rathus dan Nevid - 1983).